PERHATIAN

PERATURAN -->
1. setiap membaca fanciction di sini, WAJIB KOMENTAR
2. DILARANG MENG-COPY artikel di sini, baik sebagian apalagi seluruhnya !
3. jangan lupa JOIN dengan BLOG ini
terima kasih

Rabu, 21 Maret 2012

FF | Saranghanikka | Part 3


Author: Rosita Saraswati

RCL yaaaah~!^^

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Mwo?”, kaget Hyunmin.

Youngmin tersenyum sinis. “Kenapa? Kaget?”, tanyanya ringan.

“Ish, iblis itu ternyata benar-benar serius dengan ucapannya”, gumam Hyunmin pelan.

Kwangmin menoleh ke arah Hyunmin. “Maksud noona?”, tanyanya memastikan apa yang baru saja di dengarnya. Hyunmin tersentak, tak menyangka Kwangmin mendengar gumamannya, tapi buru-buru ia menggelengkan kepalanya.

“Dan aku juga nggak mau liat Minmin berduaan lagi dengannya di taman belakang seperti tadi siang”, Youngmin mengingatkan.

Hyunmin yang sebenarnya terkejut langsung memasang ekspresi dinginnya. “Terserah, noona capek berdebat denganmu”, katanya. Ia lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

“Ish, siapa juga yang memintanya berdebat”, cibir Youngmin yang langsung dihadiahi jitakan oleh Kwangmin. “Apaan sih!”, umpatnya sambil menatap tajam saudara kembarnya itu.

Kwangmin mengangkat sebelah alisnya. “Hey, kamu masih marah juga?”

“Menurutmu?”

“Aish, sudahlah. Mungkin salahmu juga karena ngelarang noona pacaran sama Jungmin hyung”, kata Kwangmin.

Youngmin mendelik. “Ya! Bukannya kamu juga ikut-ikutan?!”, katanya mencari teman.

“Mwo? Aku kan cuma disuruh sama kamu”, Kwangmin menjulurkan lidahnya lalu secepat mungkin ia lari dari hadapan Youngmin yang sudah siap memberi bogem mentah nan gratis untuknya.

“Sama-sama menyebalkan”, cibir Youngmin.


--------------------------------------------------


Entah sudah berapa kali Kwangmin mengetuk pintu itu. Tumben-tumbennya juga sang pemilik kamar tak langsung membukakan pintunya bahkan setelah ia berteriak memanggil nama sang kakak sekalipun. “Apa dia masih marah?”, gumam Kwangmin. Terbesit rasa khawatir di hatinya.

“Noona?”, panggilnya sekali lagi. Kali ini ia langsung membuka kamar Hyunmin yang ternyata tidak terkunci. Ia mengedarkan pandangannya ke semua penjuru kamar gadis penggila warna biru itu.

“Noona? Ayo makan malam”

Tak ada jawaban.

“Noona dimana?”, tanyanya sedikit menaikkan suaranya. Ia lalu melangkah menuju kamar mandi. Lampunya menyala, pertanda ada orang di dalamnya.

Tokk tokk tokk

“Noona sedang apa di dalam?”, tanya Kwangmin saat ia sudah di depan pintu kamar mandi. Tapi sekali lagi, tak ada suara khas sang kakak menyahut pertanyaannya.

Kwangmin mulai panik, terlebih saat menyadari pintu kamar mandi itu terkunci dari dalam. Ia mengetuk pintu itu keras-keras dan lama-lama semakin keras. Tapi tetap saja tak ada respon dari dalam. “Jangan bilang noona bunuh diri!”, gumamnya disela-sela kepanikannya. Namun ia langsung menggelengkan kepalanya, kakaknya tak mungkin punya pikiran sependek itu.

Dengan terpaksa Kwangmin mendobrak pintu kamar mandi di hadapannya. Ia benar-benar mengerahkan tenaganya, dan hanya dengan sekali dobrak ia langsung bisa membuka pintu itu.

Kwangmin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah membuka pintu kamar mandi lebar-lebar. Matanya membulat sempurna, begitu juga dengan mulutnya yang kini menganga. “Noona!”, teriaknya sambil mendekati tubuh Hyunmin.

Kwangmin mengguncang tubuh mungil sang kakak. “Yak, noona!”, panggilnya masih dengan mengguncang tubuh Hyunmin yang kini terduduk di lantai kamar mandi. “Bangun noona!!”, teriaknya kencang, kali ini sambil melepas headphone yang menutupi kedua telinga kakaknya itu.

“Apa?”, tanya Hyunmin lemah, matanya masih terpejam sempurna. “Aku ngantuk, Kwangmin”, lanjutnya seraya merebut headphone-nya kembali dan segera dipasangkannya pada kedua telinganya.

Tapi lagi-lagi Kwangmin melepas headphone itu. “Noona, kamu udah bikin aku khawatir tau nggak!”, geram Kwangmin sambil mengalungkan headphone itu di lehernya. “Dan kenapa pula noona malah tidur disini he?”

Hyunmin terpaksa membuka matanya. Ditatapnya wajah tampan Kwangmin. “Bukan urusanmu”, katanya dingin.

“Kamu minta masuk angin?”, tanya Kwangmin tajam.

“Aish, udah sana pergi”, usir Hyunmin sambil mengambil headphone-nya dari leher Kwangmin.

Kwangmin menyipitkan matanya. ‘Sepertinya harus dengan paksaan’, batinnya. Ia lalu tersenyum, kemudian dengan sigap ia membopong tubuh kakaknya.

“Kyaaa, Kwangmin!”, reflek Hyunmin berteriak, tak lupa juga ia memukul dada Kwangmin. ”Turunin nggak?!”

“Ish, noona diem aja kenapa sih?”, pinta Kwangmin sewot yang lalu melempar tubuh Hyunmin ke tempat tidurnya. “Itu udah aku turunin kan?”, tanyanya sambil cengengesan.

“Dasar adik kurang ajar”, desis Hyunmin yang langsung ditanggapi tawa dari Kwangmin.

“Mianhae noona”, katanya disela-sela tawanya. “Kalo nggak kek gini noona nggak bakal mau keluar kamar mandi”, lanjutnya. “Aku kira tadi noona bunuh diri tahu nggak?!”, tukasnya.

PLETAKKK
“Kamu pikir aku gila?”, maki Hyunmin.

Kwangmin mengerucutkan bibirnya imut. “Ya, kan aku takut aja noona nekat mau bunuh diri gara-gara masalah tadi”, jelas Kwangmin, kepalanya tertunduk. Sumpah demi apapun, dia benar-benar khawatir takut terjadi apa-apa dengan kakaknya.

“Harusnya yang kamu khawatirin itu saudara kembarmu yang labil itu”, kata Hyunmin pelan. “Kali aja dia nekat meregang nyawa cuma gara-gara Kim Eunsae itu”, lanjutnya.

Kwangmin tertawa. “Haha, benar juga sih, noon”, responnya. “Tapi ngomong-ngomong, makasih banget ya buat ijinnya”, ucapnya sambil tersenyum manis.

Hyunmin balas tersenyum. Ia juga mengusap kepala Kwangmin sayang. “Ne, kejar dia, dongsaeng!”, katanya memberikan semangat.

Kwangmin mengangguk penuh semangat. “Kalo gitu, sekarang kita makan! Aku udah masakin yang spesial buat kita berdua!”, ajak Kwangmin sambil menarik lembut tangan Hyunmin. “Masakan pertama yang aku bikin. Dan itu Seungmi yang ngajarin!”, bangganya.

“Berarti aku jadi kelinci percobaan nih?”, tanya Hyunmin sangsi. “Semoga aku nggak sakit perut”, candanya.

“Hahaha”, tawa Kwangmin sambil merangkul bahu Hyunmin. “Kalo sakit perut, toilet kan masih gratis, noon”, katanya sembari melangkah menuju dapur di lantai bawah.


-----------------------------------------------------


Hyunmin membolak-balik majalah di tangannya. Lalu pandangannya beralih saat didengarnya suara pintu terbuka, lalu tertutup dalam waktu singkat. Tanpa menoleh, dia tahu siapa orang yang telah masuk apartemennya. “Dari mana saja kamu? Semalaman nggak pulang!”, tanyanya dengan nada menginterogasi. Hah, siapa lagi kalau bukan Youngmin yang dimaksud? Hyunmin hafal betul tabiat adiknya yang satu itu. Masuk rumah tanpa salam, dan akan langsung menyendiri di kamarnya, itulah kebiasaanYoungmin jika sedang tak bersahabat.

Hyunmin berdiri lalu memandang Youngmin tajam. “Youngmin! Jawab noona!”, bentaknya saat tak di dengar barang satu kata pun keluar dari bibir Youngmin. “Darimana saja kamu?!”, bentaknya sekali lagi, karena Youngmin tetap setia bungkam.

“Apa pedulimu?”, tanyanya datar lalu dengan cueknya melangkah ke kamarnya.

Hyunmin menghela nafas. ‘Aish, anak itu!’, umpatnya dalam hati. Tangannya lalu memijit pelipis kanannya yang sedari tadi terasa sakit. Tanpa pikir panjang, ia lalu melangkah menyusul Youngmin.

“Minmin mau apa lagi sih?”, tanya Youngmin ketus saat menyadari kakaknya ikut masuk ke kamarnya.

Hyunmin menatap Youngmin dalam. Entah apa maksud dibalik tatapan matanya itu, Youngmin tak bisa membacanya. “Soal Eunsae lagi?”, tebaknya.

Hyunmin masih saja menatap Youngmin tanpa sepatah kata pun. Entah kenapa ia ragu dengan apa yang ada di otaknya sekarang. Ia menghela nafas, kemudian berbalik melangkah keluar. “Terserah kamu saja lah”, putusnya sebelum ia benar-benar pergi dari kamar Youngmin.

SedangkanYoungmin? Dia terkejut. Tapi entah lah, dia bingung harus seperti apa. Sebelah hatinya bersorak karena itu berarti ia mendapat ijin meski sedikit terpaksa dari sang kakak, tapi sebelah hatinya yang lain serasa di hujam pisau berkarat. Sakit. Entah kenapa ada perasaan tak enak saat melihat Hyunmin.

“Biarlah mengalir saja lah”, gumamnya lalu menutup pintu kamarnya.


--------------------------------------------


Hyunmin menatap nanar pintu yang berada tak jauh dari kamarnya. Pintu kamar yang baru beberapa waktu yang lalu ia tinggalkan. Kamar Youngmin. Ia sama sekali tak pernah punya maksud untuk menciptakan suasana seperti ini. Ia benar-benar tak pernah bermaksud membuat Youngmin menjauh darinya. Bahkan tak hanya dengan dirinya Youngmin bersikap dingin, tapi juga terhadap Kwangmin.

Jujur, dia rindu perasaan yang ia rasakan seperti beberapa hari yang lalu, juga waktu-waktu sebelumnya. Saat-saat dimana mereka bertiga bercanda bersama, bermain bersama, menghabiskan waktu bersama-sama. Ia rindu tawa hangat Youngmin. Ia juga rindu teriakan frustasi Kwangmin karena keusilan Youngmin. Dia benar-benar rindu pertengkaran kecil antara si kembar. Ia rindu sifat kekanak-kanakan kedua adiknya. Ia rindu suasana kekeluargaan di antara ia dan adik-adiknya. Ia rindu semua hal yang sempat hilang beberapa waktu ini.

“Uljimma, noona”, bisik seseorang sambil menghapus air mata yang tiba-tiba turun dari kedua mata Hyunmin. “Jebal”, pintanya dengan suara bergetar. “Aku tahu noona berniat baik padanya, tapi tolong jangan seperti ini”, kata Kwangmin berusaha menenangkan kakaknya. “Aku sedih jika setiap hari melihat noona menangis sembunyi-sembunyi seperti ini”, lanjutnya sambil menahan tangisnya.

Hyunmin menunduk. Digigitnya bibir bawahnya, benar-benar menahan agar tangisnya tidak pecah saat itu juga. Dadanya benar-benar sesak, dan itu sangat menyikasanya.

Dan dengan pengertian, Kwangmin langsung merengkuh tubuh sang kakak, membawanya ke dalam pelukannya. “Uljimma”, pintanya sekali lagi saat dirasakan tubuh kakaknya bergetar dalam pelukannya. Suara tangisnya memang tak terdengar, tapi itu jauh lebih menyakitkan di mata Kwangmin. Ia sendiri berusaha untuk tidak ikut menangis.

Kwangmin bernafas lega ketika disadarinya tubuh sang kakak sudah tak bergetar seperti tadi. “Sudah nangisnya?”, tanyanya pelan tanpa melepas pelukannya.

Hening…

Ia merenggangkan pelukannya, tapi yang ada malah tubuh sang kakak merosot. Dengan sigap ia merengkuhnya lagi sebelum sukses jatuh ke lantai. Ia menepuk pipi chubby Hyunmin. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati bercak-bercak darah di bajunya serta di sekitar hidung dan mulut Hyunmin. Dan dengan sekali gerakan, ia kini sudah membopong sang kakak.

 “Youngmin, bantu aku bawa noona ke rumah sakit!”, teriaknya kalut sambil menendang keras pintu kamar Youngmin lalu dengan setengah berlari ia menuruni tangga. “YOUNGMIN, CEPAT!”, teriaknya lagi dari arah pintu apartemen mereka.


-------------------------------------


Kwangmin terus saja berlari menyusuri koridor rumah sakit itu. Tak dipedulikannya petugas rumah sakit yang sudah menyodorkannya kasur dorong untuk lebih memudahkan membawa pasien. Dengan segera ia membawa sang kakak ke ruang ICU yang kini sudah ada di depan matanya.

Sedangkan Youngmin? Dia dengan susah payah berlari. Badannya serasa lemas hanya dengan melihat tubuh kakaknya kejang selama perjalanan ke rumah sakit. Air matanya juga tak mau berhenti membanjiri kedua pipi putihnya. Dan tanpa aba-aba tubuh Youngmin langsung ambruk. Ia tersungkur di lantai rumah sakit yang dingin itu. Ia berusaha bangkit, namun kakinya sudah tak kuat untuk sekedar menopang tubuhnya, apalagi berjalan menuju ruang ICU yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya sekarang.

Youngmin terus saja menggigit bibir bahwa, berusaha meredam tangis yang sedari tadi keluar dari bibirnya. Tapi tak bisa, tangisnya tak juga mau berhenti. Ia menunduk, tubuhnya masih bergetar. Dan saat bayangan wajah Hyunmin beberapa waktu yang lalu kembali berputar dalam ingatannya, tangisnya semakin menjadi-jadi. “Noona”, untuk pertama kalinya ia memanggil Hyunmin dengan sebutan ‘noona’.

“Tenang, Youngmin”, seseorang memeluk tubuh Youngmin yang masih saja bergetar. “Tolong tenang ya?”, pintanya. Padahal diri sendirinya tak kalah kalut.

Youngmin berontak dari pelukan Kwangmin. “Gimana aku bisa tenang ha?”, bentaknya. “Aku bahkan lihat dengan kedua mataku, Minmin kejang-kejang seperti tadi! Bagaimana aku bisa tenang ha?”, Youngmin masih berusaha keluar dari pelukan saudara kembarnya.

“Dia udah ditangani, Youngmin!”, Kwangmin balas membentak. “Sekarang itu kita musti berdoa!”

Youngmin membalas pelukan Kwangmin. “Aku takut, Kwangmin”, katanya sambil mengeratkan pelukannya. “Aku takut penyakitnya semakin parah”, lanjutnya disela-sela tangisnya.

“Ssstt, kita berdoa semoga noona baik-baik aja”, Kwangmin menenangkan. “Sudah ya, kamu duduk di atas, disini dingin”, pintanya lembut sambil membantu Youngmin berdiri lalu mendudukannya di kursi dekat ruang ICU. “Aku udah kasih kabar ke appa, mungkin nanti malam dia sampai sini”, lanjutnya.

“Semuanya gara-gara aku”, gumam Youngmin sesenggukan. “Semuanya gara-gara aku, Kwangmin”, katanya dengan nada bergetar.

Kwangmin berjongkok di depan Youngmin. Ia mendongak kemudian menggenggam kedua tangan Youngmin. “Sssttt, kamu jangan seperti ini”, pintanya lemah.

Youngmin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku nggak bakal maafin diriku kalo Minmin sampai kenapa-kenapa”, ia terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Ada rasa bersalah yang teramat besar memenuhi dadanya, membuatnya merasa sesak.

Kwangmin berdiri, lalu kembali memeluk Youngmin. “Noona nggak bakal kenapa-kenapa, Youngmin. Percaya ya?”, pintanya sok tegar. Ia semakin mengeratkan pelukannya saat Youngmin kembali menangis.


-------------------------------------------------


“Ada apa, Hyung?”, tanya Kwangmin yang saat ini sudah duduk menghadap dokter muda yang menangani Hyunmin.

Dokter muda yang bernama Donghyun itu menatap Kwangmin, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. “Ada masalah di rumah?”, tanyanya tanpa ‘tedeng aling-aling’. Kwangmin mengangguk lemah. “Hah, pasti masalah serius, sampai-sampai keadaan noona-mu seperti ini”

“Yah, begitu lah, Hyung”, Kwangmin tersenyum getir mengingat pertengkaran tempo hari.

“Padahal beberapa tahun terakhir ini kondisi noona-mu mulai membaik---“, Donghyun menjelaskan sembari membolak-balik file-file di tangannya. “Yah, meski kondisinya sekarang nggak separah saat ahjumma meninggal, tapi tetap saja aku khawatir”, lanjutnya.

Kwangmin benar-benar ingin menyumpal telinganya dengan apapun yang bisa menghalangi setiap perkataan Donghyun untuk masuk ke dalam pikirannya. “Hyung bisa kan menanganinya?”, tanyanya lirih penuh harapan.

“Aku usahakan sebisa mungkin, Kwangmin”, janjinya. “Kalo dalam waktu tiga sampai empat hari dia tidak sadar, maka dia---“

“Noona kenapa?”

“Aku yakin kamu tahu maksudku, Kwangmin”, ucap Donghyun lirih. “Dan soal Youngmin, untuk sementara waktu dia menginap disini, kondisinya lemah”, terangnya saat teringat kondisi Youngmin yang tadi sempat pingsan.

“Ne”, jawab Kwangmin lemah. “Kalo gitu aku permisi, Hyung”, pamit Kwangmin pada Donghyun.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar