PERHATIAN

PERATURAN -->
1. setiap membaca fanciction di sini, WAJIB KOMENTAR
2. DILARANG MENG-COPY artikel di sini, baik sebagian apalagi seluruhnya !
3. jangan lupa JOIN dengan BLOG ini
terima kasih

Rabu, 21 Maret 2012

FF | Saranghanikka | Part 4


Author: Rosita Saraswati

RCL yaaaah~!^^

Hwaaaa, ini part 4-nya! Mian kalo part ini rada ‘gaje’, hehehe. Harap maklum, author juga manusia~ Dan part ini juga alurnya bisa dibilang LAMBAT!! Semoga nggak bosen ya??



Saranghanikka 4

Kwangmin melangkah gontai menuju kamar VVIP tempat kakaknya dirawat. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Donghyun beberapa waktu yang lalu. “Apa separah itu gangguan otaknya?”, gumamnya. “Hah, ternyata kecelakaan itu nggak hanya berdampak pada meninggalnya umma, tapi juga menyisakan bekas pada noona”, lanjutnya sambil menatap ke depan.

Kamar sang kakak kini sudah ada di depan mata. Tapi sebelumnya, ia mampir ke kamar VVIP tepat di sebelah kamar sang kakak. “Eh? Youngmin mana?”, tanyanya saat mendapati kamar tersebut kosong. Ia lalu melangkah keluar dan segera masuk ke kamar sebelah. Ia bernafas lega saat melihat seorang laki-laki berbaju pasien tertidur tak jauh dari tempat sang kakak berbaring.

“Maksain diri banget sih”, ucapnya pelan lalu segera menggeser sedikit kepala Youngmin yang menindih tangan kanan Hyunmin. Pandangannya lalu beralih pada sosok gadis dengan wajah pucat itu. “Cepat bangun, noona. Jebal”, pintanya dengan mata berkaca-kaca. Ia mengusap sebelah matanya yang sempat meneteskan air mata. Jujur, ia khawatir dengan sang kakak. Ia tak mau kehilangan sosok perempuan yang ia sayangi untuk kedua kalinya.

“Annyeong”, sapa seseorang dari arah pintu, membuyarkan pikiran-pikiran Kwangmin. Kwangmin yang tahu betul suara khas itu langsung menoleh, dan dengan kilat ia menghambur ke pelukan pria yang merupakan ayahnya itu. “Gwaenchana?”, tanya sang ayah saat merasakan tubuh putranya bergetar. Kwangmin kini tak bisa menahan tangisnya.

“Nan gwaenchana, appa”, jawabnya lirih sembari menghapus air matanya. “Tapi noona nggak baik-baik aja, Donghyun hyung bilang---“

“Appa udah ngerti kondisi noona-mu. Tadi appa langsung mampir ke ruangan Donghyun”, potong Hyunbi. “Kita banyak-banyak berdoa ya”, pintanya lembut. Ia mengelus kepala Kwangmin, mencoba menenangkan putranya itu, meski dirinya pun sebenarnya tak tenang. Saking tak tenangnya, ia sampai menunda beberapa acara penting perusahaannya untuk bisa cepat-cepat kembali ke Seoul. Ia bahkan harus beradu mulut dengan beberapa petugas di bandara. Yah, meski jarak Tokyo-Seoul tak terlalu besar, tapi mendapatkan tiket untuk penerbangan saat itu juga bukanlah hal yang mudah.

“Ne, appa”, Kwangmin melepas pelukannya. Ia kemudian menuntun ayahnya untuk mendekat ke tempat Hyunmin terbaring.

Hyunbi mengecup kening putri satu-satunya. “Cepat sembuh, Minnie”, bisiknya halus. Kemudian ia berganti mengecup kening putranya yang lain. “Banyak-banyak istirahat”, katanya sambil mengelus sayang kepala Youngmin.

“Donghyun bilang kalian ada masalah di rumah?”, tanya Hyunbi pelan, takut membangunkan Youngmin. Hanya anggukan dari Kwangmin yang ia dapat. “Masalah besar kah? Sampai-sampai noona-mu kebanyakan pikiran seperti ini?”, tanyanya lagi. Memang, gangguan otak Hyunmin berakibat tak langsung. Hanya saat-saat terlalu banyak pikiran lah kondisinya bisa memburuk seperti ini, bahkan bisa jadi lebih parah dari sekarang.

“Begitu lah, appa. Sebenernya---“, Kwangmin menggigit bibirnya, bingung harus memulai cerita dari mana.

“Padahal noona kalian bersikap protektif karena dia sayang kalian”, kata Hyunbi bijak. Kwangmin yang mendengar langsung menatap ayahnya penuh tanda tanya. “Noona-mu selalu cerita sama appa, termasuk masalah Eunsae-Eunsae itu”, seperti bisa membaca pikiran putranya, Hyunbi buru-buru menjawab.

Kwangmin menaikkan sebelah alisnya. “Kalo gitu kenapa tadi tanya? Sendirinya udah tahu pokok permasalahannya”, tak segan-segan Kwangmin mencibir ayahnya.

Meski pelan, tapi cibiran Kwangmin tak luput dari pendengaran Hyunbi. Ia terkekeh pelan. “Hanya sekedar bas-basi, nak”, katanya lembut. Dipamerkannya senyum tulus pada putranya itu.

“Yasudah, karena appa udah disini, aku mau pulang dulu”, pamit Kwangmin setengah kesal. “Aku mau ambil perlengkapan sekolahku”, lanjutnya jutek. Ia masih kesal dengan sikap ayahnya tadi.


----------------------------------------------


Kwangmin membuka pintu apartemennya. Sejenak ia teringat bagaimana paniknya ia maupun Youngmin saat tahu kakaknya separah itu, mereka bahkan lupa untuk sekedar mengunci pintu apartemen. Boro-boro mengunci, Minwoo yang dimintai tolong untuk menguncinya bilang bahwa pintu apartemennya masih terbuka saat ia disana.


“Sepi”, pikirnya dalam hati saat ia melangkah masuk ke dalam apartemennya. Ia menghidupkan satu per satu lampu ruangan yang ia lewati. Dan dengan segera ia langsung masuk ke kamarnya lalu memasukkan buku-buku sesuai jadwalnya.

“Aish, besok ada ujian sejarah lokal!”, umpatnya sangat teringat tentang ujian mata pelajaran sejarah hari esok. “Otte?”, tanyanya dalam hati. Dalam keadaan seperti ini, demi apa Kwangmin benar-benar tidak bisa fokus pada apa yang ia pelajari. “Masa bodoh dengan ujian”, lanjutnya cuek.

Setelah selesai dengan jadwalnya, ia langsung membuka pintu almari pakaiannya. Dengan cepat ia mengeluarkan sepasang seragam dengan celana biru kotak-kotak. Tak lupa ia menyambar pakaian dalamnya. “Dasinya kemana sih?”, kesalnya. Ia lalu mengobrak-abrik kamarnya hanya untuk mencari dasinya. “Pinjem Youngmin aja lah”, ia mengambil jalan pintas. Dan sekembalinya ia dari kamar Youngmin, ia langsung memasukkan semuanya dalam tas jinjing. Tak lupa ia juga membawa beberapa potong pakaian dalam untuk saudara kembarnya.

Merasa semuanya sudah cukup, ia pun membawa barang bawaannya dan langsung melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Tapi entah mendapat dorongan dari mana, ia malah membimbing kakinya melangkah menuju kamar yang terletak di sebelah kanannya. “Noona”, bisiknya bersamaan dengan ia membuka pintu kamar yang terkesan minimalis itu. Aroma khas milik Hyunmin langsung tercium sesaat setelah tubuhnya berada di dalam kamar itu.

“Hah, aku kangen suara noona”, katanya lirih. “Cepat sembuh ya”, ada pengharapan yang teramat besar dari nada bicaranya.

Kwangmin memilih untuk duduk sebentar di pinggiran tempat tidur Hyunmin. Ia mengelus bantal biru yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur kakaknya. Ia ingat betul saat beberapa waktu yang lalu mendapati Hyunmin menangis sambil memeluk bantal ini, juga beberapa waktu sebelumnya dimana bantal ini lah yang selalu jadi korban dari sang kakak.

Entah pikirannya melayang kemana, yang pasti ia sangat terkejut saat dengan tak sengaja melirik jam kecil di meja yang tak jauh darinya. “Aku musti cepet balik ke rumah sakit. Kasian appa harus jaga dua orang sekaligus”, paniknya. Dengan segera, ia bangkit kemudian menata tempat tidur sang kakak.

‘Apa ini?’, batinnya saat didapati sebuah buku bersampul beludru berwarna biru muda terselip indah di bawah bantal. “Pasti diary-nya Minmin noona”, tebaknya. Dengan sendirinya ia membuka lembar demi lembar, membaca setiap kata yang tercetak rapi pada tiap halamannya. Juah di lubuk hatinya, ia merasa bersalah karena telah ‘merusuh’ hal pribadi Hyunmin. Tapi di satu sisi, ia ingin tahu tentang perasaan sang kakak. Terlebih kebenaran tentang masalah yang terjadi di antara mereka bertiga.

“Padahal noona kalian bersikap protektif karena dia sayang kalian”

Tiba-tiba perkataan ayahnya terngiang di kepalanya, menambah keyakinannya bahwa semua hal yang terjadi pada kakaknya pasti tertulis dalam buku itu.


----------------------------------------


Youngmin berjalan melewati rumput-rumput basah di taman rumah sakit tempatnya berada sekarang. Ayahnya meminta ia cepat-cepat istirahat, tapi entah hal apa yang mendorongnya duduk di salah satu bangku taman yang berada tak jauh dari kamarnya. Ia hanya ingin menengkan dirinya, mungkin. Terlalu banyak penyesalan dalam dirinya kini.

Dalam keheningan malam, ingatan tentang pertengkaran itu kembali berputar. Bahkan ia kini seolah menonton adegan-adegan itu dengan mata kepalanya sendiri, tepat di hadapannya. Seolah-olah itu semua terlihat begitu nyata di mata laki-laki berambut pirang ini.

Dan seiring dengan turunnya bulir-bulir hangat dari kedua mata sayunya, Youngmin menarik kakinya naik ke bangku taman itu, lalu di dekapnya erat. Ditenggelamkannya kepalanya di antara kedua lututnya yang kini terasa lemas. Ia terisak karena rasa bersalahnya yang kini kian berlipat-lipat. Terlebih saat ia teringat percakapan antara Donghyun dan Kwangmin yang tak sengaja ia dengar.

Apa jadinya ia jika harus kehilangan kakak yang sangat ia sayangi?

“Yak! Kamu mengganggu belajarku!’, hardik seseorang. Dari suaranya yang terdengar sangat jelas, orang itu pasti ada tak jauh dari tempat Youngmin.

Youngmin dengan enggan menggerakkan kepalanya, untuk sekedar mencari tahu siapa pemilik suara cempreng itu. Didapatinya seorang berambut pendek yang entah sejak kapan sudah ada di sebelah kirinya.

“Heh, namja cengeng, ke laut aja sana! Kamu ganggu aku belajar tahu nggak?!”, sungut gadis yang juga berbaju pasien itu sambil mencengkeram kuat buku tebal yang dipegangnya.

Masih dengan air mata yang dengan bandelnya tak mau berhenti, Youngmin menatap gadis itu tajam. Tapi tiba-tiba tangisnya semakin menjadi-jadi.

“Ya, ya, ya! Aish”, panik gadis itu. Ia mengacak-acak rambutnya asal, bingung harus bagaimana. “Ya, berhentilah menangis, jebal~”, pintanya.

Dengan gerakan cepat, ia langsung merengkuh tubuh Youngmin. Jika ditanya kenapa, sebenarnya ia sendiri bingung kenapa bersikap baik pada laki-laki yang bahkan namanya saja ia tak tahu. Tapi dari suara tangisannya, terdengar ada rasa sakit serta penyesalan yang teramat sangat dari laki-laki yang sepertinya masih seumuran dengannya. “Uljima”, pinta sang gadis sekali lagi. Kini tangannya membelai lembut punggung Youngmin.


--------------------------------------------------


Kwangmin terlihat gusar saat memasuki sebuah kamar VVIP itu. Bagaimana tidak? Ayahnya bilang, Youngmin telah kembali ke kamarnya. Tapi apa? Ia sama sekali tak melihat batang hidung saudara kembarnya itu.

Cemas?
Itu sudah pasti. Terlebih malam ini udara terasa menusuk tulang, dingin. “Kalo dia kedinginan gimana?”, paniknya, apa lagi saat ia teringat bahwa ia sama sekali tak pernah memberi jaket atau baju penghangat lainnya pada Youngmin.

Ia bergegas keluar kamar tersebut dan langsung melangkah di sepanjang koridor kelas VVIP ini. Ia bahkan tak berniat memberitahu sang ayah, dengan dalil tak ingin menambah pikiran ayahnya. “Youngmin, kamu dimana sih?”, bisiknya panik. Tak dipedulikannya dingin yang menyerangnya, ia tetap saja melawan dan terus mencari saudara laki-lakinya.

“Ah, itu----“, ia memicingkan matanya saat berada tak jauh dari taman. Ada dua orang disana, dua orang yang sama-sama berbaju pasien. Dan salah satunya adalah manusia yang ia cari, manusia yang kini ada dalam dekapan seseorang yang entah itu siapa!

Kwangmin melangkah mendekat, mempersempit jarak antara ia dengan dua manusia yang sedari tadi menjadi objek pandangan matanya. “Mianhae----“, ah, demi apa Kwangmin bingung harus memanggil siapa, ia tak tahu laki-laki atau perempuan kah orang yang telah membuat memeluk saudaranya.

“Ah, ne”, jawab orang itu tanpa melepas pelukannya. “Ada apa?”, tanyanya lembut.

Kwangmin terkesiap. Ia terkejut saat menyadari manusia itu ternyata sosok yang selama ini orang sebut sebagai ‘perempuan’. Tapi buru-buru ia mengubah ekspresinya. “Ah, mianhae karena saudaraku sudah merepotkanmu”, katanya sopan sambil menunjuk Youngmin yang kini terlelap dipelukan gadis itu.

“Jadi ini saudaramu?”, tanyanya ketus. “Kamu tahu, dia sungguh sangat merepotkan!”, tekannya yang lalu melepas pelukannya pada Youngmin.

Kwangmin dengan sigap menangkap tubuh Youngmin yang hampir saja dengan mulus terjatuh karena gadis itu melepas pelukannya secara tiba-tiba. “Sekali lagi, mianhae”, Kwangmin menunduk sopan kemudian dengan pelan menggendong Youngmin di punggungnya.

“Gomawo”, kata Kwangmin sebelum meninggalkan gadis yang kini sedang asyik mencibir itu.


--------------------------------------------------


Dengan tergesa, Kwangmin melangkah ke sebuah ruang VVIP di rumah sakit itu. Setelah mendapat sms dari ayahnya, ia langsung meminta ijin pulang lebih awal. “Ada apa, appa?”, tanya Kwangmin disela-sela nafasnya yang memburu, saat di dapatinya sang ayah yang baru saja keluar dari ruang yang menjadi tempat tujuan Kwangmin. “Youngmin kenapa?”, tanyanya lagi.

“Bujuk dia istirahat ya, Kwangmin”, nada suaranya sangat lemah. “Dia juga belum makan dari tadi pagi”, lanjutnya.

Kwangmin mengangguk. “Appa juga sebaiknya istirahat, pulang dulu lah ke apartemen”, saran Kwangmin saat menyadari ada kerutan lelah di wajah wibawa sang ayah. “Biar Minwoo yang anterin appa”, lanjutnya lalu memandang Minwoo yang ikut membolos,  yang kemudian dibalas anggukan dari laki-laki yang merupakan teman sekelas Youngmin itu.

“Kamu juga jaga diri ya? Nanti sore appa kesini lagi”. Kwangmin mengangguk.

“Ayo ahjussi”, ajak Minwoo sopan.


-------------------------------------------


Kwangmin membuka pintu ruang itu pelan. Ia menatap kakaknya yang masih terbaring, masih dengan segala peralatan medis melekat di beberapa bagian tubuhnya. Lalu pandangannya beralih pada sesosok lain di samping sang kakak. Sosok laki-laki yang sama-sama memakai baju pasien rumah sakit ini. Sosok laki-laki yang sedang menatap lekat ke arah tubuh lemah di hadapannya, dengan tangannya yang menggenggam erat tangan pasien yang masih setia terbaring itu.

Kwangmin berjalan mendekati kedua saudaranya. “Youngmin, sedang apa kamu disini?”, tanyanya lalu duduk di kursi di sebelah Youngmin. “Bukannya kamu harus istirahat juga?”, Kwangmin mengingatkan.

Youngmin menggerakkan kepalanya, sekedar untuk menatap Kwangmin sekilas. Lalu pandangannya kembali pada tubuh lemah Hyunmin. “Mana bisa aku ninggalin Minmin”, katanya tak bersemangat. “Aku akan jaga dia. Minmin jadi seperti ini gara-gara aku”

“Tapi nanti kamu juga tambah sakit”, Kwangmin mengingatkan.

“Sakitku nggak akan separah dia kan?”, tanya Youngmin datar.

“Tapi---“

“Jangan khawatir”, potong Youngmin cepat.

Kwangmin mendengus sebal. ‘Dia saja seperti mayat hidup, gimana nggak khawatir?’, batin Kwangmin. “Minimal kamu makan lalu minum obat”, bujuk Kwangmin.

“…..”

“Kalo kamu nggak ada tenaga, nanti kamu pingsan. Dan itu sama aja kamu nggak jagain noona, kan?”, tanya Kwangmin. Ia masih berusaha membujuk Youngmin.

Youngmin terlihat menimbang-nimbang ucapan saudara kembarnya. “Baiklah”, katanya memutuskan. Kwangmin bernapas lega karena Youngmin mau juga disuruh makan. “Tapi suapin”, lanjutnya sambil memamerkan senyumnya yang sempat hilang dua hari ini.

Kwangmin sedikit enggan dengan permintaan Youngmin. Tapi mengingat kondisi saudaranya yang memang bisa dibilang memprihatinkan, dengan terpaksa ia meng’iya’kan permintaan Youngmin.

“Kamu percaya kan kalo Minmin bakal siuman dalam waktu dekat ini?”, tanya Youngmin sambil mengunyah pelan buburnya. “Aku takut kalo dia nggak siuman. Aku takut kalo aku harus kehilangan dia”, ucapnya lirih.

Kwangmin menatap nanar wajah pucat Hyunmin. Dia sendiri takut. Sangat takut jika dalam waktu dekat ini kakaknya belum juga siuman. “Ne, dia pasti kembali pada kita”, Kwangmin berusaha meyakinkan, baik untuk dirinya sendiri maupun Youngmin. Youngmin hanya membalas dengan anggukan. “Udah, kamu jangan kek gini ya? Nanti noona sadar eh kamunya yang terkapar”, kata Kwangmin mencoba memberi semangat.

“Haha, benar juga”. Sumpah demi apa, tawa Youngmin ini, meski masih terdengar lemah, tapi sukses membuat Kwangmin sedikit lega. “Ngomong-ngomong, ada tugas apa ya?”, tanya Youngmin.

“Molla. Coba nanti kalo Minwoo sampai sini, kamu langsung tanya ke dia”

“Minwoo bakal kesini?”, tanya Youngmin ragu, yang reflek menolehkan kepalanya menghadap Kwangmin lalu menatap laki-laki yang kini sedang menyeondokkan sesendok bubur untuk dirinya sendiri.

“Tadi dia udah kesini bareng sama aku, tapi aku minta dia anterin appa pulang dulu”, kata Kwangmin sambil menyodorkan sesendok bubur ke arah Youngmin. “Tapi, tapi, emang kamu udah mau sekolah?”, tanya Kwangmin memastikan.

Youngmin yang masih sibuk dengan bubur di mulutnya hanya mengangguk.

“Yakin? Udah kuat?”, tanya Kwangmin sangsi. Kenapa? Karena dari yang ia lihat, wajah Youngmin masih pucat, dia masih terlihat sangat lemah untuk sekedar pergi ke sekolah.

“Kalo besok aku mendingan, ya aku sekolah”, terangnya. “Mana obatnya?”, Youngmin meminta obatnya dengan nada yang terlihat sedikit lebih bersemangat.

Kwangmin menjitak pelan kepala Youngmin. “Habiskan dulu buburnya”, ia menggeram.

Youngmin menatap sangar ke arah Kwangmin. “Hiek, jangan paksa aku lagi, ato aku bakal muntah tepat dimukamu”, ucapnya sambil mengancam saudara kembarnya.

“Ish, menjijikkan!”, kesal Kwangmin yang dengan segera menyerahkan beberapa pil obat pada Youngmin.

Youngmin segera meminum obat-obat itu sekali tenggak. “Wajahmu kan emang mirip tempat sampah!”, ejek Youngmin. Ia menjulurkan lidah ke arah Kwangmin yang kini wajahnya sudah memerah. Jika tak ingat saudaranya ini sedang sakit, mungkin sekarang ia sudah memukul habis-habisan laki-laki dihadapannya itu. Tapi sekali lagi, ia merasa lebih lega karena secara berangsur-angsur Youngmin mau di ajak untuk lebih bersemangat.

“Ah, iya aku baru inget”, pekik Kwangmin sambil menepuk keningnya. “Ini baca”, pintanya sembari menyodorkan diary milik Hyunmin. “Kamu bakal tahu kenapa noona melarangmu dekat-dekat dengan Eunsae-mu yang sempurna itu”, sindir Kwangmin.


TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar